Dalam praktik bisnis perusahaan sehari-hari, seringkali kita dengar istilah "Gross-Up" atas pemotongan Pajak Penghasilan, terutama dalam penghitungan PPh Pasal 21. Istilah "Pajak Ditanggung Perusahaan" sering dipersamakan dengan istilah "Gross-Up" sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Apa sih perbedaannya dan bagaimana perlakuannya? Artikel ini akan mencoba membahas perbedaan tersebut dan bagaimana perhitungan "Gross-up" tersebut. Selain itu apakah metode "Gross-Up" dapat di praktekan untuk pemotongan PPh lainnya seperti PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4(2) ? Mudah-mudahan artikel dibawah cukup memberikan jawabannya kepada para pembaca.
Pajak Ditanggung Vs Tunjangan Pajak PPh Pasal 21
PPh 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan.
Ketika menghitung penghasilan karyawan, masing-masing perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda, terdapat perusahaan yang membuat kebijakan bahwa Pajak ditanggung sendiri oleh Karyawan dimana gaji yang dibawah pulang karyawan telah dipotong pajak oleh perusahaan. Terdapat juga perusahaan yang memiliki kebijakan bahwa seluruh pajak terutang karyawan di bayarkan oleh perusahaan, sehingga karyawan menerima gaji bersih (seolah-olah) tanpa pemotongan pajak dari jumlah total gajinya.
Bagi perusahaan yang mengambil kebijakan kedua, perlu berhati-hati dalam mendefinisikan kebijakannya karena terdapat perbedaan antara "Pajak Ditanggung Perusahaan" dan "Tunjangan Pajak" yang diberikan perusahaan yang dihitung menggunakan metode Gross-up. Mengapa demikian?
Keduanya sekilas nampak sama, tetapi memiliki terminologi yang berbeda dan perlakuan yang berbeda pula. Pajak Ditanggung Perusahaan berarti pajak yang seharusnya dipotong atas gaji karyawan ditanggung atau dibayarkan perusahaan namun tidak diperlakukan sebagai penambah penghasilan perusahaan. Dengan metode ini perusahaan menghitung pajak karyawan secara normal tanpa menggunakan metode Gross-up. Sedangkan Tunjangan Pajak berarti perusahaan memberikan tambahan penghasilan kepada karyawan berupa Tunjangan Pajak seperti halnya tunjangan transport, tunjangan makan, tunjangan jabatan dan lainnya. Dalam menghitungnya perusahaan dapat menggunakan metode Gross-up, sehingga seakan-akan penghasilan karyawan menjadi lebih besar dengan adanya tambahan penghasilan Tunjangan Pajak tersebut.
Apa dampak dari penerapan kedua metode tersebut? Bagi perusahaan yang menerapkan Tunjangan Pajak bagi karyawannya dapat membebankan pajak PPh 21 tersebut sebagai Biaya atau dapat menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expenses/DE) ketika menghitung PPh Badan. Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja [Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh]. Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk mempertegas treatment atau perlakuan pembiayaannya ini, sebaiknya pemberi kerja memasukkan akun Tunjangan PPh ke dalam slip gaji karyawannya. Sedangkan untuk Pajak Ditanggung perusahaan tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses/NDE). Sebab biaya-biaya yang berupa imbalan atau penggantian dalam bentuk kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.
Atas pilihan kedua metode diatas, ketentuan DE atau NDE tersebut tidak lagi berlaku bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh yang bersifat Final, jadi apapun kebijakan yang dipilih baik tunjangan pajak ataupun ditanggung maka keduannya tetap NDE. Sebab bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, biaya apapun yang dikeluarkan tidak lagi diperhitungkan dalam penghitungan PPh atas penghasilan usahanya. misalnya: perusahaan konstruksi, perusahaan persewaan tanah/bangunan, perusahaan pelayaran dalam negeri, dan beberapa perusahaan lain yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Satu lagi catatan penting dalam memilih diantara kedua kebijakan tersebut adalah kepemilikan NPWP karyawan. Sesuai Pasal 21 UU No 36 thn 2008 : "Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak". Wajibkanlah karyawan anda untuk memiliki NPWP agar beban perusahaan tidak menjadi lebih tnggi 20% dari normal.
Metode Gross-Up Untuk PPh Lainnya
Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai Gross-up untuk PPh selain tunjangan pajak PPh 21. Namun dalam praktiknya banyak perusahaan dihadapkan pada kondisi rekanan ataupun penyedia jasa tidak mau dipotong pajak atas penghasilan yang diterimanya. Sehingga pajak atas penghasilan tersebut menjadi tanggungan dari perusahaan sebagai pemotong pajak yang dimaksud. Jika rekanan tidak ingin dipotong pajak maka perusahaan harus melakukan koreksi atas beban sebesar DPP yang tidak dipotong PPh nya tersebut sebagai NDE pada saat perhitungan PPh Badan. Jika tidak, pada saat pemeriksaan, akan terkena koreksi oleh pemeriksa pajak atas biaya tersebut. Oleh karena itu untuk menyiasati hal tersebut, sangat umum dilakukan oleh beberapa perusahaan memotong dengan metode Gross-up. Hal ini dilakukan agar rekanan tetap menerima full pembayaran dan perusahaan tetap bisa menganggapnya sebagai DE dalam perhitungan PPh Badannya.
Perlu diperhatikan guna menghindari kerugian dua kali, karena selain telah menanggung pajak rekanan yang menjadi biaya perusahaaan, ada kemungkinan terkoreksi ketika dilakukan pemeriksaan karena pada dasarnya Gross-up hanya dapat diterapkan pada PPh 21 saja (bersyukur, sejauh ini saya belum mengalami Gross-up pajak perusahaan saya terkoreksi saat pemeriksaan). Saran saya pada saat membuat perjanjian awal dengan rekanan sebaiknya Jumlah DPP setelah di Gross-up ini dimasukan dalam nilai kontrak dan PO serta menjadi Jumlah dalam Invoice yang dikirimkan ke perusahaan sehingga tampak seakan-akan transaksi normal tidak ada perlakuan Gross-up bagi rekanan ini. Dengan demikian transaksi bisnis akan sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Apa dampak dari penerapan kedua metode tersebut? Bagi perusahaan yang menerapkan Tunjangan Pajak bagi karyawannya dapat membebankan pajak PPh 21 tersebut sebagai Biaya atau dapat menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expenses/DE) ketika menghitung PPh Badan. Tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang (salah satunya Tunjangan PPh) merupakan salah satu biaya atau pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja [Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 UU PPh]. Artinya, perusahaan atau pemberi kerja boleh membiayakannya di SPT Tahunan PPh mereka. Dan untuk mempertegas treatment atau perlakuan pembiayaannya ini, sebaiknya pemberi kerja memasukkan akun Tunjangan PPh ke dalam slip gaji karyawannya. Sedangkan untuk Pajak Ditanggung perusahaan tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses/NDE). Sebab biaya-biaya yang berupa imbalan atau penggantian dalam bentuk kenikmatan tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja saat menghitung penghasilan kena pajak.
Atas pilihan kedua metode diatas, ketentuan DE atau NDE tersebut tidak lagi berlaku bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh yang bersifat Final, jadi apapun kebijakan yang dipilih baik tunjangan pajak ataupun ditanggung maka keduannya tetap NDE. Sebab bagi perusahaan atau pemberi kerja yang penghasilannya sudah dikenakan PPh bersifat final, biaya apapun yang dikeluarkan tidak lagi diperhitungkan dalam penghitungan PPh atas penghasilan usahanya. misalnya: perusahaan konstruksi, perusahaan persewaan tanah/bangunan, perusahaan pelayaran dalam negeri, dan beberapa perusahaan lain yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Satu lagi catatan penting dalam memilih diantara kedua kebijakan tersebut adalah kepemilikan NPWP karyawan. Sesuai Pasal 21 UU No 36 thn 2008 : "Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak". Wajibkanlah karyawan anda untuk memiliki NPWP agar beban perusahaan tidak menjadi lebih tnggi 20% dari normal.
Metode Gross-Up Untuk PPh Lainnya
Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai Gross-up untuk PPh selain tunjangan pajak PPh 21. Namun dalam praktiknya banyak perusahaan dihadapkan pada kondisi rekanan ataupun penyedia jasa tidak mau dipotong pajak atas penghasilan yang diterimanya. Sehingga pajak atas penghasilan tersebut menjadi tanggungan dari perusahaan sebagai pemotong pajak yang dimaksud. Jika rekanan tidak ingin dipotong pajak maka perusahaan harus melakukan koreksi atas beban sebesar DPP yang tidak dipotong PPh nya tersebut sebagai NDE pada saat perhitungan PPh Badan. Jika tidak, pada saat pemeriksaan, akan terkena koreksi oleh pemeriksa pajak atas biaya tersebut. Oleh karena itu untuk menyiasati hal tersebut, sangat umum dilakukan oleh beberapa perusahaan memotong dengan metode Gross-up. Hal ini dilakukan agar rekanan tetap menerima full pembayaran dan perusahaan tetap bisa menganggapnya sebagai DE dalam perhitungan PPh Badannya.
Rumus yang biasa dipakai untuk Gross-up adalah :
DPP (tidak termasuk PPN) x 1/(1-Tarif Pajak)
Contoh : DPP = Rp. 100.000
Tarif PPh 23 = 2%
DPP setelah Gross Up = Rp. 100.000 x 1/(1-2%) = Rp. 102.041
Pajak PPh 23 = Rp. 102.041 x 2 % = Rp. 2.041
Perlu diperhatikan guna menghindari kerugian dua kali, karena selain telah menanggung pajak rekanan yang menjadi biaya perusahaaan, ada kemungkinan terkoreksi ketika dilakukan pemeriksaan karena pada dasarnya Gross-up hanya dapat diterapkan pada PPh 21 saja (bersyukur, sejauh ini saya belum mengalami Gross-up pajak perusahaan saya terkoreksi saat pemeriksaan). Saran saya pada saat membuat perjanjian awal dengan rekanan sebaiknya Jumlah DPP setelah di Gross-up ini dimasukan dalam nilai kontrak dan PO serta menjadi Jumlah dalam Invoice yang dikirimkan ke perusahaan sehingga tampak seakan-akan transaksi normal tidak ada perlakuan Gross-up bagi rekanan ini. Dengan demikian transaksi bisnis akan sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar